Deretan Kasus-kasus HAM
yang pernah Terjadi di Indonesia.
1. Kasus Tanjung Priok (1984)
Kasus tanjung
Priok terjadi tahun 1984 antara aparat dengan warga sekitar yang berawal dari
masalah SARA dan unsur politis. Dalam peristiwa ini diduga terjadi pelanggaran
HAM dimana terdapat ratusan korban meninggal dunia akibat kekerasan dan
penembakan.
2. Kasus terbunuhnya Marsinah,
seorang pekerja wanita PT Catur Putera Surya Porong, Jatim (1994)
Marsinah
adalah salah satu korban pekerja dan aktivitas yang hak-hak pekerja di PT Catur
Putera Surya, Porong Jawa Timur. Dia meninggal secara mengenaskan dan diduga
menjadi korban pelanggaran HAM berupa penculikan, penganiayaan dan pembunuhan.
3. Kasus terbunuhnya wartawan
Udin dari harian umum bernas (1996)
Wartawan Udin
(Fuad Muhammad Syafruddin) adalah seorang wartawan dari harian Bernas yang
diduga diculik, dianiaya oleh orang tak dikenal dan akhirnya ditemukan sudah
tewas.
4. Peristiwa Aceh (1990)
Peristiwa yang
terjadi di Aceh sejak tahun 1990 telah banyak memakan korban, baik dari pihak
aparat maupun penduduk sipil yang tidak berdosa. Peristiwa Aceh diduga dipicu
oleh unsur politik dimana terdapat pihak-pihak tertentu yang menginginkan Aceh
merdeka.
5. Peristiwa penculikan para
aktivis politik (1998)
Telah terjadi
peristiwa penghilangan orang secara paksa (penculikan) terhadap para aktivis
yang menurut catatan Kontras ada 23 orang (1 orang meninggal, 9 orang
dilepaskan, dan 13 orang lainnya masih hilang).
6. Peristiwa Trisakti dan
Semanggi (1998)
Tragedi
Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 (4 mahasiswa meninggal dan puluhan lainnya
luka-luka). Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998 (17 orang warga
sipil meninggal) dan tragedi Semanggi II pada 24 September 1999 (1 orang
mahasiswa meninggal dan 217 orang luka-luka).
7. Peristiwa kekerasan di
Timor Timur pasca jejak pendapat (1999)
Kasus pelanggaran
Hak Asasi Manusia menjelang dan pasca jejak pendapat 1999 di timor timur secara
resmi ditutup setelah penyerahan laporan komisi Kebenaran dan Persahabatan
(KKP) Indonesia - Timor Leste kepada dua kepala negara terkait.
8. Kasus Ambon (1999)
Peristiwa yang
terjadi di Ambon ni berawal dari masalah sepele yang merambat ke masalah SARA,
sehingga dinamakan perang saudara dimana telah terjadi penganiayaan dan
pembunuhan yang memakan banyak korban.
9. Kasus Poso (1998 – 2000)
Telah terjadi
bentrokan di Poso yang memakan banyak korban yang diakhiri dengan bentuknya
Forum Komunikasi Umat Beragama (FKAUB) di kabupaten Dati II Poso.
10. Kasus Dayak dan Madura
(2000)
Terjadi
bentrokan antara suku dayak dan madura (pertikaian etnis) yang juga memakan banyak
korban dari kedua belah pihak.
11. Kasus bom Bali (2002)
Telah terjadi
peristiwa pemboman di Bali, yaitu tahun 2002 dan tahun 2005 yang dilakukan oleh
teroris dengan menelan banyak korban rakyat sipil baik dari warga negara asing
maupun dari warga negara Indonesia sendiri.
12. Kasus Pelanggaran HAM
terbunuhnya MUNIR (7 September 2004 )
Tragedi ini
bermula saat Munir menuju Amsterdam untuk melanjutkan studi program master (S2)
di Universitas Utrecth Belanda. Munir naik pesawat Garuda Indonesia GA-974
menuju Singapura untuk kemudian transit di Singapura dan terbang kembali ke
Amsterdam. Namun dua jam sebelum mendarat di bandara Schipol Amsterdam Munir
telah meninggal dunia dalam pesawat dan di indikasi karena Keracunan.
13. Kasus Pembantaian di Mesuji
(April 2011)
Kasus ini
bermula dari sengketa lahan perkebunan antara perusahaan perkebunan kelapa
sawit PT SWA dengan Warga Mesuji yang terjadi di Desa Sungai Sodong, Mesuji,
Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. karena sengketa ini terjadi
pelanggaran HAM Berat.
Perih, luka, pedih dan miris
rasanya kalau kita lihat video kasus pembantaian di mesuji banyak tubuh tanpa
kepala, anggota badan kehilangan tubuhnya, kepala yang kehilangan tubuh dan
kenapa kasus kayak gini masih saja terjadi di jaman yang semodern ini.
14. PELANGGARAN HAM OLEH TNI
Umumnya
terjadi pada masa pemerintahan Presiden Suharto, dimana (dikemudian hari
berubah menjadi TNI dan Polri) menjadi alat untuk menopang kekuasaan.
Pelanggaran HAM oleh TNI mencapai puncaknya pada akhir masa pemerintahan Orde
Baru, dimana perlawanan rakyat semakin keras.
15. KASUS PELANGGARAN HAM YANG
TERJADI DI MALUKU
Konflik dan
kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah berusia 2 tahun 5
bulan; untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku Tenggara 100% aman dan
relatif stabil, sementara di kawasan Maluku Tengah (Pulau Ambon, Saparua,
Haruku, Seram dan Buru) sampai saat ini masih belum aman dan khusus untuk Kota
Ambon sangat sulit diprediksikan, beberapa waktu yang lalu sempat tenang tetapi
sekitar 1 bulan yang lalu sampai sekarang telah terjadi aksi kekerasan lagi
dengan modus yang baru ala ninja/penyusup yang melakukan operasinya di daerah –
daerah perbatasan kawasan Islam dan Kristen (ada indikasi tentara dan
masyarakat biasa).
Penyusup masuk ke wilayah
perbatasan dan melakukan pembunuhan serta pembakaran rumah. Saat ini masyarakat
telah membuat sistem pengamanan swadaya untuk wilayah pemukimannya dengan
membuat barikade-barikade dan membuat aturan orang dapat masuk/keluar dibatasi
sampai jam 20.00, suasana kota sampai saat ini masih tegang, juga masih
terdengar suara tembakan atau bom di sekitar kota.
Akibat konflik/kekerasan ini
tercatat 8000 orang tewas, sekitar 4000 orang luka – luka, ribuan rumah,
perkantoran dan pasar dibakar, ratusan sekolah hancur serta terdapat 692.000
jiwa sebagai korban konflik yang sekarang telah menjadi pengungsi di dalam/luar
Maluku.
Masyarakat kini semakin tidak
percaya dengan dengan upaya – upaya penyelesaian konflik yang dilakukan karena
ketidak-seriusan dan tidak konsistennya pemerintah dalam upaya penyelesaian
konflik, ada ketakutan di masyarakat akan diberlakukannya Daerah Operasi
Militer di Ambon dan juga ada pemahaman bahwa umat Islam dan Kristen akan
saling menyerang bila Darurat Sipil dicabut.
Banyak orang sudah putus asa,
bingung dan trauma terhadap situasi dan kondisi yang terjadi di Ambon ditambah
dengan ketidak-jelasan proses penyelesaian konflik serta ketegangan yang
terjadi saat ini.
Komunikasi sosial masyarakat
tidak jalan dengan baik, sehingga perasaan saling curiga antar kawasan terus
ada dan selalu bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang menginginkan konmflik
jalan terus. Perkembangan situasi dan kondisis yang terakhir tidak ada pihak
yang menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi sehingga masyrakat
mencari jawaban sendiri dan membuat antisipasi sendiri.
Wilayah pemukiman di Kota Ambon
sudah terbagi 2 (Islam dan Kristen), masyarakat dalam melakukan aktifitasnya
selalu dilakukan dilakukan dalam kawasannya hal ini terlihat pada aktifitas
ekonomi seperti pasar sekarang dikenal dengan sebutan pasar kaget yaitu pasar
yang muncul mendadak di suatu daerah yang dulunya bukan pasar hal ini sangat
dipengaruhi oleh kebutuhan riil masyarakat; transportasi menggunakan jalur laut
tetapi sekarang sering terjadi penembakan yang mengakibatkan korban luka dan
tewas; serta jalur – jalur distribusi barang ini biasa dilakukan diperbatasan
antara supir Islam dan Kristen tetapi sejak 1 bulan lalu sekarang tidak lagi
juga sekarang sudah ada penguasa – penguasa ekonomi baru pasca konflik.
Pendidikan sangat sulit didapat
oleh anak – anak korban langsung/tidak langsung dari konflik karena banyak
diantara mereka sudah sulit untuk mengakses sekolah, masih dalam keadaan
trauma, program Pendidikan Alternatif Maluku sangat tidak membantu proses
perbaikan mental anak malah menimbulkan masalah baru di tingkat anak (beban
belajar bertambah) selain itu masyarakat membuat penilaian negatif terhadap
aktifitas NGO (PAM dilakukan oleh NGO).
Masyarakat Maluku sangat sulit
mengakses pelayanan kesehatan, dokter dan obat – obatan tidak dapat mencukupi
kebutuhan masyarakat dan harus diperoleh dengan harga yang mahal; puskesmas
yang ada banyak yang tidak berfungsi.
Belum ada media informasi yang
dianggap independent oleh kedua pihak, yang diberitakan oleh media cetak masih
dominan berita untuk kepentingan kawasannya (sesuai lokasi media), ada media
yang selama ini melakukan banyak provokasi tidak pernah ditindak oleh Penguasa
Darurat Sipil Daerah (radio yang selama ini digunakan oleh Laskar Jihad (radio
SPMM/Suara Pembaruan Muslim Maluku).
16. PELANGGARAN HAM ATAS NAMA
AGAMA
Kita memiliki
banyak sejarah gelap agamawi, entah itu dari kalangan gereja Protestan maupun
gereja Katolik, entah dari aliran lainnya. Bahwa kadang justru dengan simbol
agamawi, kita melupakan kasih, yaitu kasih yang menjadi ‘atribut’ Tuhan kita
Yesus Kristus. Hal-hal ini dicatat dalam buku sejarah dan beberapa kali
kisah-kisah tentang kekejaman gereja difilmkan. Salah satu contohnya dalam film
The Scarlet Letter, film tentang hyprocricy Gereja Potestan yang ‘menghakimi’
seorang pezinah dan kelompok-kelompok yang dianggap bidat, adalagi film The
Magdalene Sisters, juga film A Song for A Raggy Boy, The Headman, “The Name of the Rose” , dan masih banyak
lainnya. Kini, telah hadir film yang lumayan baru, yang diproduksi oleh Saul
Zaentz dan disutradarai oleh Milos Forman, dua nama ini cukup memberi jaminan
bahwa film yang dibuat mereka selalu bagus yaitu film GOYA’s GOST.
Mungkin saja film GOYA’s GOST ini
akan membuat ‘marah’ sebagian kelompok, namun apa yang dikemukakan oleh Zaentz
dan Forman, sebagaimana kekejaman “Inkuisisi” telah tercatat dalam sejarah
hitam Gereja. Kisah-kisah kekejamannya juga terekam dalam lukisan-lukisan karya
Seniman Spanyol Francisco Goya (1746–1828 ), yang menjadi tokoh sentral dari
film GOYA’s GOST ini.
Kita telah mengenal banyak
sekelompok manusia dengan atribut agama, berlindung dalam lembaga agama, mereka
justru melakukan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) entah itu
Kristen, Islam atau agama apapun. Atas nama ‘agama yang suci’ mereka melakukan
‘pelecehan yang tidak suci’ kepada sesamanya manusia. Akhir abad 20 atau awal
abad 21, akhir-akhir ini kita disuguhi sajian-sajian berita akan kebobrokan
manusia yang beragama melanggar hak asasi manusia, misalnya kelompok Al-Qaeda
dan sejenisnya menteror dengan bom, dan olehnya mungkin sebagian dari kita
telah prejudice menempatkan orang-orang Muslim di sekitar kita sama jahatnya
dengan kelompok ‘Al-Qaeda’. Di sisi lain Amerika Serikat (AS) sebagai ‘polisi
dunia’ sering memakai ‘isu terorisme yang dilakukan Al-Qaeda’ untuk melancarkan
macam-macam agendanya. Invasi AS ke Iraq, penyerangan ke Afganistan dan
negara-negara lain yang disinyalir ‘ada terorisnya’. Namun kehadiran pasukan AS
dan sekutunya di Iraq tidak berdampak baik, mungkin pada awalnya terlihat AS
dengan sejatanya yang super-canggih menguasai Iraq dalam sekejap, namun pasukan
mereka babak-belur dalam ‘perang-kota’, ini mengingatkan kembali sejarah buruk,
dimana mereka juga kalah dalam perang gerilya di Vietnam. Kegagalan pasukan AS
mendapat kecaman dari dalam negeri, bahkan sekutunya, Inggris misalnya.
Tekanan-tekanan ini membuat PM Inggris Tony Blair memilih mengakhiri karirnya
sebelum waktunya baru-baru ini. Karena ia berada dalam posisi yang sulit :
menuruti tuntutan dalam negeri ataukah menuruti tuan Bush.
Memang kita akui banyak kebrutalan
yang dilakukan oleh para teroris kalangan Islam Fundamentalis, contoh Bom Bali
dan sejenisnya di seluruh dunia. Tapi tidak menutup kemungkinan Presiden
Amerika Serikat, George Bush adalah juga seorang ‘Fundamenalis’ dalam ‘Agama’
yang dianutnya, karena gaya Bush yang sering ‘secara implisit’ terbaca dimana
ia menempakan dirinya sebagai penganut Kristiani yang memerangi terorisme dari
para teroris Muslim Fundamentalis. Tentu saja apa-apa yang mengandung
“fundamentalis” entah itu Islam/ Kristen/ agama yang lain, bermakna tidak baik.
Sebelumnya, ditengah-tengah ‘isu
anti terorisme (Islam)’, sutradara Inggris, Ridley Scott memproduksi film The
Kingdom of Heaven, barangkali bisa juga digunakan untuk menyindir Presiden Bush
yang sering menggunakan kata “crusades” dalam pidatonya. Film The Kingdom of
Heaven adalah sebuah ‘otokritik’ bagi Kekristenan, dan sajian ‘ironisme’ dari
ajaran Kristus yang penuh kasih. Bahwa perang Salib yang telah terjadi selama 4
abad itu bukanlah suatu kesaksian yang baik, tetapi lebih merupakan sejarah
hitam.
Dibawah ini review dari sebuah
film, tentang kejahatan dibawah payung Agama, bukan berniat melecehkan suatu
Agama/ Aliran tertentu, melainkan sebagai perenungan apakah perlakuan seseorang
melawan/menindas orang lain yang tidak ‘seagama’ itu tujuannya membela Allah?
membela tradisi? membela doktrin, ataukah membela diri sendiri?.
17. PELANGGARAN HAM OLEH
MANTAN GUBERNUR TIM-TIM
Abilio Jose
Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi
Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di Timtim
dan dijatuhi vonis 3 tahun penjara. Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan
saja meragukan tetapi juga menimbulkan tanda tanya besar apakah vonis hakim
tersebut benar-benar berdasarkan rasa keadilan atau hanya sebuah pengadilan
untuk mengamankan suatu keputusan politik yang dibuat Pemerintah Indonesia
waktu itu dengan mencari kambing hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang
dapat disimak dari keputusan pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini.
Pertama, vonis hakim terhadap
terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam Undang-Undang (UU) No 26/2000
tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer) disebutkan bahwa pelaku
pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun sedangkan menurut
pasal 40 (dakwaan subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama dengan
tuntutan jaksa. Padahal Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa
menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio
Soares.
Bagi orang yang awam dalam bidang
hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-ragu dalam mengeluarkan keputusannya.
Sebab alternatifnya adalah apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan
pelanggaran HAM berat hukumannya minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak
terbukti bersalah ia dibebaskan dari segala tuduhan.
Kedua, publik dapat merasakan
suatu perlakuan “diskriminatif” dengan keputusan terhadap terdakwa Abilio
tersebut karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari
anggota TNI dan Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang
dari Jose Ramos Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan
hanya rakyat Timor Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai
aksi kekerasan selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar
1.000 tewas. Horta mengatakan, “Bagi saya bukan fair atau tidaknya keputusan
tersebut. Saya hanya khawatir rakyat Timor Timur yang akan membayar semua dosa
yang dilakukan oleh orang Indonesia”
18. Kontroversi G30S
Di antara
kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S bagi KKR
bakal menjadi kasus kontroversial. Dilema bisa muncul dengan terlibatnya KKR
untuk memangani kasus pembersihan para aktivis PKI.
Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam
melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober 1965 yang memakan banyak korban
dari pihak Islam, karena pelakunya sama-sama sipil, lebih mudah rekonsiliasi.
”Anggaplah kasus ini selesai,” jelasnya. Persoalan muncul ketika KKR mencoba
menyesaikan pembantaian yang terjadi pasca G30S.
Asvi menjelaskan, begitu Soeharto
pada 1 Oktober 1965 berhasil menguasai keadaan, sore harinya keluar pengumuman
Peperalda Jaya yang melarang semua surat kabar terbit –kecuali Angkatan
Bersenjata (AB) dan Berita Yudha. Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai
tentara.
Berita yang terbit oleh kedua
koran itu kemudian direkayasa untuk mengkambinghitamkan PKI sebagai dalang G30S
yang didukung Gerwani sebagai simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian
diserap oleh koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.
Percobaan kudeta 1 Oktober,
kemudian diikuti pembantaian massal di Indonesia. Banyak sumber yang
memberitakan perihal jumlah korban pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah
diketahui secara persis. Dari 39 artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12)
jumlah korban berkisar antara 78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata
432.590 orang.
Cribb mengatakan, pembantaian itu
dilakukan dengan cara sederhana. ”Mereka menggunakan alat pisau atau golok,”
urai Cribb. Tidak ada kamar gas seperti Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak
dibawa ke tempat jauh sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat
rumahnya. Ciri lain, menurutnya, ”Kejadian itu biasanya malam.” Proses
pembunuhan berlangsung cepat, hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu
bertahun-tahun dan Khmer Merah melakukannya dalam tempo empat tahun.
Cribb menambahkan, ada empat
faktor yang menyulut pembantaian masal itu. Pertama, budaya amuk massa, sebagai
unsur penopang kekerasan. Kedua, konflik antara golongan komunis dengan para
pemuka agama islam yang sudah berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang
diduga berperan dalam menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang
menyebabkan masyarakat geram.
Peran media militer, koran AB dan
Berita Yudha, juga sangat krusial. Media inilah yang semula menyebarkan berita
sadis tentang Gerwani yang menyilet kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut
Cribb, berdasarkan visum, seperti diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu
hanya mengalami luka tembak dan memar terkena popor senjata atau terbentur
dinding tembok sumur. Berita tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan
massa.
Karena itu, Asvi mengingatkan
bahwa peristiwa pembunuhan massal pada 1965/66 perlu dipisahkan antara konflik
antar masyarakat dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara. Pertikaian antar
masyarakat, meski memakan banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah
adalah kejahatan yang dilakukan negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan
keterlibatan militer (terutama di Jawa Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan
dan pembunuhan.
Menurut Cribb, dalam banyak
kasus, pembunuhan baru dimulai setelah datangnya kesatuan elit militer di
tempat kejadian yang memerintahkan tindakan kekerasan. ”Atau militer setidaknya
memberi contoh,” ujarnya. Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih
kata Cribb, untuk menciptakan kerumitan permasalahan. Semakin banyak tangan
yang berlumuran darah dalam penghancuran komunisme, semakin banyak tangan yang
akan menentang kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa
dituduh sebagai sponsor pembantaian.
Sebuah sarasehan Generasi Muda
Indonesia yang diselenggarakan di Univesitas Leuwen Belgia 23 September 2000
dengan tema ”Mawas Diri Peristiwa 1965: Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah”, secara
tegas menyimpulkan agar dalam memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara
peristiwa 1 Oktober dan sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang
dikatakan tiada taranya dalam sejarah modern Indonesia, bahkan mungkin dunia,
sampai hari ini.
Peritiwa inilah, simpul pertemuan
itu, merupakan kenyataan gamblang yang pernah disaksikan banyak orang dan masih
menjadi memoar kolektif sebagian mereka yang masih hidup.
Hardoyo, seorang mantan anggota
DPRGR/MPRS dari Fraksi Golongan Karya Muda, satu ide dengan hasil pertemuan
Belgia. ”Biar adil mestinya langkah itu yang kita lakukan.”
Mantan tahanan politik 1966-1979
ini kemudian bercerita. “saya pernah mewawancarai seorang putera dari sepasang
suami-isteri guru SD di sebuah kota di Jawa Tengah. Sang ayah yang anggota PGRI
itu dibunuh awal November 1965. Sang ibu yang masih hamil tua sembilan bulan
dibiarkan melahirkan putera terakhirnya, dan tiga hari setelah sang anak lahir
ia diambil dari rumah sakit persalinan dan langsung dibunuh.”
Menurut pengakuan sang putera
yang pada 1965 berusia 14 tahun, keluarga dari pelaku pembunuhan orang tuanya
itu mengirim pengakuan bahwa mereka itu terpaksa melakukan pembunuhan karena
diperintah atasannya. Sedangkan Ormas tertentu yang menggeroyok dan menangkap
orang tuanya mengatakan bahwa mereka diperintah oleh pimpinannya karena jika
tidak merekalah yang akan dibunuh. Pimpinannya itu kemudian mengakui bahwa
mereka hanya meneruskan perintah yang berwajib.
Hardoyo menambahkan: kemudian
saya tanya, ”Apakah Anda menyimpan dendam?” Sang anak menjawab, ”Semula Ya.”
Tapi setelah kami mempelajari masalahnya, dendam saya hilang. ”Mereka hanyalah
pelaksana yang sebenarnya tak tahu menahu masalahnya.” Mereka, tambah Hardoyo,
juga bagian dari korban sejarah dalam berbagai bentuk dan sisinya.
Bisa jadi memang benar, dalam
soal G30S atau soal PKI pada umumnya, peran KKR kelak harus memilah secara
tegas, pasca 1 Oktober versus sebelum 1 Oktober.
Sikap dalam penegakan HAM :
1. Dalam kehidupan keluarga:
a. Menghormati orang tua dan anggota
keluarga yang lain.
b. Mematuhi nasehat dan perintah orang tua
c. Tidak memaksakan kehendak pada orang tua
dan anggota keluarga yang lain.
d. Tidak membeda-bedakan antara anak
laki-laki dengan anak perempuan
e. Tidak menyembunyikan apapun dari
orangtua
2. Dalam
kehidupan di sekolah:
a. Mentaati tata tertib sekolah dengan
baik.
b. Menghormati bapak/ibu guru dan warga
sekolah lainnya.
c. Tidak membeda-bedakan teman dalam
pergaulan
d. Membantu teman yang membutuhkan bantuan
e. Melaporkan kepada guru jika ada siswa
yang melakukan pelanggaran HAM
3. Dalam kehidupan masyarakat:
a. Mengembangkan sikap tenggang rasa..
b. Menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan.
c. Mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
d. Melakukan kegiatan kemanusiaan.
e. Menjauhkan kekerasan, kebrutalan
4. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara:
a. Bersedia menjadi saksi apabila mengetahui
peristiwa pelanggaran HAM.
b. Melaporkan pada pihak yang berwenang jika
mengetahui telah terjadi pelanggaran HAM.
c. Mentaati peraturan-peraturan hukum yang
berlaku.
Itu
lah Deretan kasus pelanggaran HAM yang terjadi diindonesia, semoga bermanfaat
dan menambah pengetahuan anda……
Tidak ada komentar :
Posting Komentar