Senin, 16 Maret 2015

Isi Perjanjian Roem-Royen

Isi perjanjian Roem-Royen
Perjanjian Roem-Roijen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Roijen) adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama. Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, dimana Sultan Hamengku Buwono IX mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).

Hasil pertemuan ini adalah:
·         Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya
·         Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar
·         Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
·         Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang
Dampak Perjanjian Roem Royen :
Dengan tercapainya kesepakatan dalam Perjanjian Roem-Royen maka Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra memerintahkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih pemerintahan di Yogyakarta dari tangan Belanda. Sementara itu, pihak TNI dengan penuh kecurigaan menyambut hasil persetujuan itu. Namun, Panglima Besar Jenderal Sudirman memperingatkan seluruh komando di bawahnya agar tidak memikirkan masalah-masalah perundingan.
Untuk mempertegas amanat Jenderal Sudirman itu, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa Kolonel A.H. Nasution memerintahkan agar para komandan lapangan dapat membedakan gencatan senjata untuk kepentingan politik atau kepentingan militer. Pada umumnya kalangan TNI tidak mempercayai sepenuhnya hasil-hasil perundingan, karena selalu merugikan perjuangan bangsa Indonesia.
Pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan segitiga antara Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda di bawah pengawasan Komisi PBB yang dipimpin oleh Christchley. Perundingan itu menghasilkan tiga keputusan, yaitu sebagai berikut :
·         Pengembalian pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta akan dilaksanakan pada tanggal 4 Juni 1949.
·         Perintah penghentian perang gerilya akan diberikan setelah pemerintahan Republik Indonesia berada di Yogyakarta pada tanggal 1 Juli 1949.

·         Konferensi Meja Bundar (KMB) akan dilaksanakan di Den Haag. 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar