FIRST
LOVE
Gadis
itu menarik napas, lelah. Ia menjadi salah satu panitia untuk penyelenggaraan
pentas seni tahun ini. Baginya yang baru pertama kali ikut acara seperti ini,
tentu saja itu melelahkan. Jessica duduk di salah satu bangku yang disediakan,
lalu menatap sekeliling. Hari sudah mulai senja, tanda dia harus pulang.
“Jessica,
kau bisa bawa benda-benda ini ke taman? Masih banyak kegiatan yang perlu
kuurus,” Krystal terlihat kerepotan membawa banyak pita di tangannya. Jessica
segera bangkit, “Ah, tentu saja. Kau kerjakan saja yang lain, biar aku bawa ke
taman.”
”Terimakasih,
Jessica. Kau benar-benar baik!” Krystal berlari lagi ke aula, melambai
padanya. Gadis itu menatap banyak benda di tanah, lalu meniup poninya. ”Semangat,
Jess.”
-
“Astaga,
ini sungguh berat..” Jessica membawa pita itu dan sesekali menggerutu. Apalagi
ditambah suasana matahari-hampir-tenggelam ini membuatnya merinding.
Jessica
meletakkannya di atas meja dan berkacak pinggang, lalu meregangkan tubuh.
Untuknya yang bertubuh tergolong pendek, itu sangat membuatnya lelah.
“Jessica?”
Ia menoleh, menemukan Aiden yang menatapnya. Di lehernya tergantung kamera, dia
memang tergabung dalam klub fotografer. Sontak saja wajahnya memerah, dia memang
mengagumi pemuda itu dari dulu. Aiden termasuk popular di sekolahnya, selain
karena dia pintar dan tampan—hasil setiap jepretannya selalu bagus. Jujur Jessica
mengaguminya, tapi tidak terlalu menunjukkan diri seperti Stefanny. Aiden
seangkatan dengannya.
“E-Eung..
yah, kau bisa lihat tumpukan pita itu,” katanya kikuk, “Kami punya ide setiap
siswa akan menerbangkan lampion saat puncaknya nanti.”
“Ide
bagus,” Dia tersenyum, membuat Jessica tertegun sebentar.
Dia
sangat tampan.
“Ah,
ya,” Aiden berbicara tiba-tiba, membuat Jessica yang tadinya melihat matahari
tenggelam menoleh. “Hm?”
“Aku
butuh model untuk dipamerkan nanti,” Aiden
menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Dan aku belum bisa menemukannya sampai
saat ini.. Ah, intinya, maukah kau kufoto sekali saja?”
“A-Apa?
Tapi—“
Aiden
buru-buru mengangkat kameranya dan Jessica menoleh menghindari kamera, tapi itu
justru seperti ia melihat langit senja dan itu pose yang tepat untuk model.
Klik!
“Terimakasih,
Sica!” Sungjae tersenyum dan berlari menjauh, melambai. “Aku menyayangimu!”
Lagi,
rona merah itu menjalari wajahnya. Jessica menunduk dan tersenyum. “Mimpi apa
aku semalam?”
-
“Tiffany!”
Tiffany mengerutkan kening melihat sahabatnya itu berlari padanya dengan senyum
riang. “Ada apa? Tumben sekali kau tersenyum seperti itu.”
“Tidak,
tidak ada,” Gadis manis itu menggeleng, lalu duduk di samping Tiffany. “Ada
perkembangan apa antara hubunganmu dan Micky?”
“Bah,
orang itu,” Tiffany menghempaskan bolpoinnya sebal, “Dia masih saja berdekatan
dengan Jimin bahkan saat aku di sampingnya! Menyebalkan sekali. Aku bahkan
ingin menghantam wajah yang katanya tampan itu agar penggemarnya hilang dan dia dijauhi
selamanya!”
Sahabatnya
itu terengah setelahnya, tentu saja. Dia mengucapkan itu dalam sekali tarikan
napas. “Micky Hoult—argh, aku benar-benar membencinya!”
“Jangan
begitu,” Jessica berbaik hati mendengarkan keluhan Tiffany, padahal biasanya dia
akan menyumpal headshet di telinga dan menyembunyikannya di balik rambut
panjangnya seolah berlagak mendengarkan. “Dia juga kekasihmu, rela memohon
supaya kau menjadi pacarnya, menunggu saat kau merajuk bahkan hujan-hujanan di
depan rumahmu dan sakit setelahnya.”
“Tapi
tetap saja--!” Keluhannya terpotong karena Guru Kim sudah masuk dan menerangkan
apa saja tugas panitia untuk pentas seni nanti
“Fanny,
kau marah? Maaf..” Suara Micky memelas. Jessica menuju tempat duduk di belakang
dan menggeleng pelan, “Pasangan bodoh.”
-
“Ugh!”
Jessica berjinjit, berusaha mengambil buku Sejarah yang terletak paling atas.
“Sedikit—lagi—“
“Sedang
apa?”
“Waah!”
Gadis itu hampir terjatuh, tapi berhasil mengendalikan keseimbangannya hingga
berdiri tegak. “Kau mengagetkan—ah, Aiden.”
Aiden
memperhatikan buku yang Jessica berusaha ambil dan menggapainya, lalu
menyerahkannya pada Jessica. “Kalau tidak bisa, harusnya minta bantuan saja.
Daripada kau berjinjit tidak jelas seperti itu.”
“Kau..
melihatnya?” tanyanya ragu, mengambil buku itu. “Tentu, tapi aku ingin kau berusaha
dulu.” Aiden tersenyum kecil. “Melihatmu seperti itu, kau sangat menggemaskan,
tahu? Berusaha menggapai tapi tidak bisa, berjinjit.. ah, begitulah.”
Jessica
menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah. “Tadi tidak ada orang
lewat, jadi aku tidak bisa meminta tolong..”
“Lain
kali minta bantuan, oke? Aku tidak ingin orang lain melihat sosok
menggemaskanmu itu.”
Aiden
tersenyum, mengacak rambut gadis itu pelan dan berjalan keluar. “Sampai jumpa, Jessica!
Ingat perkataanku tadi!”
Jessica
menatap punggung Aiden yang perlahan menjauh. “Dia itu..”
-
“Aku
benci Sejarah!”
“Kenapa
harus ulangan saat aku belum belajar!”
“Memangnya
kau pernah belajar, Kris?”
“Demi
Tuhan, kenapa Guru Lee jahat sekali, aish!”
Gerutuan
demi gerutuan terus keluar dari siswa di kelas Jessica saat ini. Ia sendiri
hanya menatap buku kosong, sementara Guru Lee mengetuk meja dengan
penggaris—wajahnya galak. “Diam! Jaehyo, bagi kertasnya. Ingat, tidak ada yang
menyontek atau kalian akan kukeluarkan dari kelas!”
Seisi
kelas diam, menciut di bangkunya. Samar-samar terdengar gumaman. Jessica meniup
poninya kesal dan menatap kertas ulangan dengan mata melotot seolah ingin
menghilangkannya. “Astaga, aku bisa gila,” gumamnya sebal dan mengambil
bolpoin.
Aiden
menarik napas, puas. Hasil cetakan fotonya tergantung di depan mata, menurutnya
itu cukup untuk pameran nanti. Pandangannya terhenti pada foto Jessica, gadis
itu terlihat sangat cantik hingga ia tidak bisa memalingkan wajah.
Pemuda
itu bangkit dan keluar ruangan, berniat menuju lahan kosong di belakang sekolah
untuk bersantai sejenak. Langkahnya terhenti saat melihat sosok familiar yang
berjalan ke pohon akasia dan duduk di sana, memasang earphone dan membaca buku
dalam diam.
“Jessica?”
gumamnya dan melangkah mendekat, menepuk pundak gadis itu.
“Waah!”
Gadis itu menoleh, terkejut. “Aiden? Sedang apa kau disini?” Setelah berhasil
mengendalikan diri, ia kembali bernapas dengan benar. “Aku yang harusnya
bertanya,” Aiden mengerutkan kening. “Bukannya ini jam masuk?”
“Ah,
kelasku ulangan dan siapa yang selesai boleh keluar lebih dulu,” Jessica menjawab
kikuk. “Yah, kurasa itu cukup mudah, jadi.. yah.”
“Tidak
perlu begitu, aku tahu kau pintar,” Aiden tersenyum. “Nanti panitia pentas seni
akan berkumpul lagi untuk menata ruangan.”
“Ah..”
Chorong menggumam, “Akan baik-baik saja. Itu tidak masalah,aku bisa keluar dari
kelas Guru Kim! Yeah!”
Aiden
tersenyum, menatapnya. Ia mengusak surai hitam Jessica, “Dasar imut.”
Gadis
itu tertegun menyadari apa yang terjadi. “Ingat kataku, hanya aku satu-satunya
lelaki yang bisa melihatmu begini, mengerti?”
Ia
bangkit dan berjalan menjauh. Jessica menatap punggungnya dan tersenyum tipis.
“No,
no, no!” Jessica menjauh, sementara Tiffany memaksa. “Ayolah, aku ingin
melihatmu memakai hanbok, Sica!”
“Ti-dak!”
Jessica duduk, “Itu mengerikan!”
“Pakai,
atau kubilang pada Aiden kau suka padanya?” Tiffany menyeringai, membuat Jessica
segera merebut hanbok itu. “Baik, baik! Tapi jangan bilang!”
“Okay,
dan gantilah bajumu.”
Jessica
merengut, “Tiffany Choi menyebalkan!”
“Aku
dengar itu, Jessica Jung!”
Jessica
menaiki tangga, lalu melewati koridor. Sebentar lagi kelas Aiden, batinnya. Ia
menoleh dan menemukan pemuda itu sedang tertawa bersama Hana, tangannya
merangkul bahu gadis itu.
Mereka..
terlihat begitu bahagia.
Langkahnya
tertahan, rasa sesak itu menerjangnya tanpa ampun. “Aiden.” Ia kira Aiden
menyukainya. Lalu mengapa pemuda itu memberinya harapan jika tidak?
Ia
berjalan mundur, matanya memanas. “Dia..”
Dan
air mata itu jatuh. Jessica berbalik dan berlari menuruni tangga cepat ke lahan
kosong di belakang sekolah. Ia menutup mulut dengan tangan kanan, terisak.
Gadis
itu jatuh terduduk di tanah berumput, tubuhnya gemetar. Sakit.
Hatinya
sakit sekali..
“Maafkan
aku, Krystal,” Jessica menunduk. “Aku akan pindah sekolah besok, jadi aku
mengundurkan diri dari panitia pentas seni. Aku benar-benar minta maaf.”
Krystal
menarik napas dan tersenyum. “Tidak apa, jagalah dirimu baik-baik di sekolah
barumu, mengerti? Hah, Tiffany pasti sedih saat tahu kau akan pindah.”
“Sampaikan
maafku ke dia juga, Krystal. Sekali lagi aku minta maaf.” Jessica membungkuk
dalam-dalam dan berbalik. Ia rasa sudah saatnya pindah ke Amerika dan tinggal
bersama ibunya.
“Jessica..
Kau akan pindah?” Gadis itu mengangkat kepala, Aiden. “Ah, itu benar.”
“Tapi
kenapa...” Jessica menarik napas, “Ada urusan pribadi. Terimakasih dan selamat
tinggal, Aiden.”
Ia
berjalan cepat dan terisak pelan.
Ia
tidak pernah menyangka cinta pertamanya akan berakhir seperti ini.
Chorong
menatap keluar jendela pesawat. Langit terlihat biru, dan itu berarti hidupnya
akan dimulai kembali, dengan semangat baru.
3
years later.
Aiden
menatap sekeliling, ruang fotografer tempatnya biasa menghabiskan waktu. Kini
ia akan lulus dan meninggalkan sekolah ini. Pemuda itu menarik napas dan
mengambil foto-fotonya saat foto Jessica terjatuh di atas meja. Ia mengambilnya
perlahan.
Jessica
Jung. Gadis itu terlihat begitu cantik hingga dia tak bisa mengalihkan
pandangan. Aiden tersenyum dan memasukkannya ke tas.
“Aiden,
kau sudah selesai?” Ia menoleh, Hana muncul dari pintu. “Ayo pulang.”
Aiden
tersenyum dan menggenggam tangan Hana, menutup pintu. Mengambil langkah baru
dengan kekasihnya, meninggalkan Jessica dan kenangannya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar