Sabtu, 21 Februari 2015

Cerpen



FIRST LOVE

Gadis itu menarik napas, lelah. Ia menjadi salah satu panitia untuk penyelenggaraan pentas seni tahun ini. Baginya yang baru pertama kali ikut acara seperti ini, tentu saja itu melelahkan. Jessica duduk di salah satu bangku yang disediakan, lalu menatap sekeliling. Hari sudah mulai senja, tanda dia harus pulang.
“Jessica, kau bisa bawa benda­­-benda ini ke taman? Masih banyak kegiatan yang perlu kuurus,” Krystal terlihat kerepotan membawa banyak pita di tangannya. Jessica segera bangkit, “Ah, tentu saja. Kau kerjakan saja yang lain, biar aku bawa ke taman.”
”Terimakasih, Jessica. Kau benar­-benar baik!” Krystal berlari lagi ke aula, melambai padanya. Gadis itu menatap banyak benda di tanah, lalu meniup poninya. ”Semangat, Jess.”
-
“Astaga, ini sungguh berat..” Jessica membawa pita itu dan sesekali menggerutu. Apalagi ditambah suasana matahari-hampir-tenggelam ini membuatnya merinding.
Jessica meletakkannya di atas meja dan berkacak pinggang, lalu meregangkan tubuh. Untuknya yang bertubuh tergolong pendek, itu sangat membuatnya lelah.
“Jessica?” Ia menoleh, menemukan Aiden yang menatapnya. Di lehernya tergantung kamera, dia memang tergabung dalam klub fotografer. Sontak saja wajahnya memerah, dia memang mengagumi pemuda itu dari dulu. Aiden termasuk popular di sekolahnya, selain karena dia pintar dan tampan—hasil setiap jepretannya selalu bagus. Jujur Jessica mengaguminya, tapi tidak terlalu menunjukkan diri seperti Stefanny. Aiden seangkatan dengannya.
“E-Eung.. yah, kau bisa lihat tumpukan pita itu,” katanya kikuk, “Kami punya ide setiap siswa akan menerbangkan lampion saat puncaknya nanti.”
“Ide bagus,” Dia tersenyum, membuat Jessica tertegun sebentar.
Dia sangat tampan.
“Ah, ya,” Aiden berbicara tiba-tiba, membuat Jessica yang tadinya melihat matahari tenggelam menoleh. “Hm?”
“Aku butuh model untuk dipamerkan  nanti,” Aiden menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Dan aku belum bisa menemukannya sampai saat ini.. Ah, intinya, maukah kau kufoto sekali saja?”
“A-Apa? Tapi—“
Aiden buru-buru mengangkat kameranya dan Jessica menoleh menghindari kamera, tapi itu justru seperti ia melihat langit senja dan itu pose yang tepat untuk model.
Klik!
“Terimakasih, Sica!” Sungjae tersenyum dan berlari menjauh, melambai. “Aku menyayangimu!”
Lagi, rona merah itu menjalari wajahnya. Jessica menunduk dan tersenyum. “Mimpi apa aku semalam?”
-
“Tiffany!” Tiffany mengerutkan kening melihat sahabatnya itu berlari padanya dengan senyum riang. “Ada apa? Tumben sekali kau tersenyum seperti itu.”
“Tidak, tidak ada,” Gadis manis itu menggeleng, lalu duduk di samping Tiffany. “Ada perkembangan apa antara hubunganmu dan Micky?”
“Bah, orang itu,” Tiffany menghempaskan bolpoinnya sebal, “Dia masih saja berdekatan dengan Jimin bahkan saat aku di sampingnya! Menyebalkan sekali. Aku bahkan ingin menghantam wajah yang katanya tampan itu agar  penggemarnya hilang dan dia dijauhi selamanya!”
Sahabatnya itu terengah setelahnya, tentu saja. Dia mengucapkan itu dalam sekali tarikan napas. “Micky Hoult—argh, aku benar-benar membencinya!”
“Jangan begitu,” Jessica berbaik hati mendengarkan keluhan Tiffany, padahal biasanya dia akan menyumpal headshet di telinga dan menyembunyikannya di balik rambut panjangnya seolah berlagak mendengarkan. “Dia juga kekasihmu, rela memohon supaya kau menjadi pacarnya, menunggu saat kau merajuk bahkan hujan-hujanan di depan rumahmu dan sakit setelahnya.”
“Tapi tetap saja--!” Keluhannya terpotong karena Guru Kim sudah masuk dan menerangkan apa saja tugas panitia untuk pentas seni nanti
“Fanny, kau marah? Maaf..” Suara Micky memelas. Jessica menuju tempat duduk di belakang dan menggeleng pelan, “Pasangan bodoh.”
-
“Ugh!” Jessica berjinjit, berusaha mengambil buku Sejarah yang terletak paling atas. “Sedikit—lagi—“
“Sedang apa?”
“Waah!” Gadis itu hampir terjatuh, tapi berhasil mengendalikan keseimbangannya hingga berdiri tegak. “Kau mengagetkan—ah, Aiden.”
Aiden memperhatikan buku yang Jessica berusaha ambil dan menggapainya, lalu menyerahkannya pada Jessica. “Kalau tidak bisa, harusnya minta bantuan saja. Daripada kau berjinjit tidak jelas seperti itu.”
“Kau.. melihatnya?” tanyanya ragu, mengambil buku itu. “Tentu, tapi aku ingin kau berusaha dulu.” Aiden tersenyum kecil. “Melihatmu seperti itu, kau sangat menggemaskan, tahu? Berusaha menggapai tapi tidak bisa, berjinjit.. ah, begitulah.”
Jessica menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang memerah. “Tadi tidak ada orang lewat, jadi aku tidak bisa meminta tolong..”
“Lain kali minta bantuan, oke? Aku tidak ingin orang lain melihat sosok menggemaskanmu itu.”
Aiden tersenyum, mengacak rambut gadis itu pelan dan berjalan keluar. “Sampai jumpa, Jessica! Ingat perkataanku tadi!”
Jessica menatap punggung Aiden yang perlahan menjauh. “Dia itu..”
-
“Aku benci Sejarah!”
“Kenapa harus ulangan saat aku belum belajar!”
“Memangnya kau pernah belajar, Kris?”
“Demi Tuhan, kenapa Guru Lee jahat sekali, aish!”
Gerutuan demi gerutuan terus keluar dari siswa di kelas Jessica saat ini. Ia sendiri hanya menatap buku kosong, sementara Guru Lee mengetuk meja dengan penggaris—wajahnya galak. “Diam! Jaehyo, bagi kertasnya. Ingat, tidak ada yang menyontek atau kalian akan kukeluarkan dari kelas!”
Seisi kelas diam, menciut di bangkunya. Samar-samar terdengar gumaman. Jessica meniup poninya kesal dan menatap kertas ulangan dengan mata melotot seolah ingin menghilangkannya. “Astaga, aku bisa gila,” gumamnya sebal dan mengambil bolpoin.

Aiden menarik napas, puas. Hasil cetakan fotonya tergantung di depan mata, menurutnya itu cukup untuk pameran nanti. Pandangannya terhenti pada foto Jessica, gadis itu terlihat sangat cantik hingga ia tidak bisa memalingkan wajah.
Pemuda itu bangkit dan keluar ruangan, berniat menuju lahan kosong di belakang sekolah untuk bersantai sejenak. Langkahnya terhenti saat melihat sosok familiar yang berjalan ke pohon akasia dan duduk di sana, memasang earphone dan membaca buku dalam diam.
“Jessica?” gumamnya dan melangkah mendekat, menepuk pundak gadis itu.
“Waah!” Gadis itu menoleh, terkejut. “Aiden? Sedang apa kau disini?” Setelah berhasil mengendalikan diri, ia kembali bernapas dengan benar. “Aku yang harusnya bertanya,” Aiden mengerutkan kening. “Bukannya ini jam masuk?”
“Ah, kelasku ulangan dan siapa yang selesai boleh keluar lebih dulu,” Jessica menjawab kikuk. “Yah, kurasa itu cukup mudah, jadi.. yah.”
“Tidak perlu begitu, aku tahu kau pintar,” Aiden tersenyum. “Nanti panitia pentas seni akan berkumpul lagi untuk menata ruangan.”
“Ah..” Chorong menggumam, “Akan baik-baik saja. Itu tidak masalah,aku bisa keluar dari kelas Guru Kim! Yeah!”
Aiden tersenyum, menatapnya. Ia mengusak surai hitam Jessica, “Dasar imut.”
Gadis itu tertegun menyadari apa yang terjadi. “Ingat kataku, hanya aku satu-satunya lelaki yang bisa melihatmu begini, mengerti?”
Ia bangkit dan berjalan menjauh. Jessica menatap punggungnya dan tersenyum tipis.

“No, no, no!” Jessica menjauh, sementara Tiffany memaksa. “Ayolah, aku ingin melihatmu memakai hanbok, Sica!”
“Ti-dak!” Jessica duduk, “Itu mengerikan!”
“Pakai, atau kubilang pada Aiden kau suka padanya?” Tiffany menyeringai, membuat Jessica segera merebut hanbok itu. “Baik, baik! Tapi jangan bilang!”
“Okay, dan gantilah bajumu.”
Jessica merengut, “Tiffany Choi menyebalkan!”
“Aku dengar itu, Jessica Jung!”

Jessica menaiki tangga, lalu melewati koridor. Sebentar lagi kelas Aiden, batinnya. Ia menoleh dan menemukan pemuda itu sedang tertawa bersama Hana, tangannya merangkul bahu gadis itu.
Mereka.. terlihat begitu bahagia.
Langkahnya tertahan, rasa sesak itu menerjangnya tanpa ampun. “Aiden.” Ia kira Aiden menyukainya. Lalu mengapa pemuda itu memberinya harapan jika tidak?
Ia berjalan mundur, matanya memanas. “Dia..”
Dan air mata itu jatuh. Jessica berbalik dan berlari menuruni tangga cepat ke lahan kosong di belakang sekolah. Ia menutup mulut dengan tangan kanan, terisak.
Gadis itu jatuh terduduk di tanah berumput, tubuhnya gemetar. Sakit.
Hatinya sakit sekali..

“Maafkan aku, Krystal,” Jessica menunduk. “Aku akan pindah sekolah besok, jadi aku mengundurkan diri dari panitia pentas seni. Aku benar-benar minta maaf.”
Krystal menarik napas dan tersenyum. “Tidak apa, jagalah dirimu baik-baik di sekolah barumu, mengerti? Hah, Tiffany pasti sedih saat tahu kau akan pindah.”
“Sampaikan maafku ke dia juga, Krystal. Sekali lagi aku minta maaf.” Jessica membungkuk dalam-dalam dan berbalik. Ia rasa sudah saatnya pindah ke Amerika dan tinggal bersama ibunya.
“Jessica.. Kau akan pindah?” Gadis itu mengangkat kepala, Aiden. “Ah, itu benar.”
“Tapi kenapa...” Jessica menarik napas, “Ada urusan pribadi. Terimakasih dan selamat tinggal, Aiden.”
Ia berjalan cepat dan terisak pelan.
Ia tidak pernah menyangka cinta pertamanya akan berakhir seperti ini.

Chorong menatap keluar jendela pesawat. Langit terlihat biru, dan itu berarti hidupnya akan dimulai kembali, dengan semangat baru.
3 years later.
Aiden menatap sekeliling, ruang fotografer tempatnya biasa menghabiskan waktu. Kini ia akan lulus dan meninggalkan sekolah ini. Pemuda itu menarik napas dan mengambil foto-fotonya saat foto Jessica terjatuh di atas meja. Ia mengambilnya perlahan.
Jessica Jung. Gadis itu terlihat begitu cantik hingga dia tak bisa mengalihkan pandangan. Aiden tersenyum dan memasukkannya ke tas.
“Aiden, kau sudah selesai?” Ia menoleh, Hana muncul dari pintu. “Ayo pulang.”
Aiden tersenyum dan menggenggam tangan Hana, menutup pintu. Mengambil langkah baru dengan kekasihnya, meninggalkan Jessica dan kenangannya.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar